Tuesday, December 9, 2008

Penerangan Tentang Azab...Bala...Musibah...

Pertanyaan :

Akhir-akhir ini dalam waktu terdekat ini banyak terjadi bencana alam dan kecelakaan yang menyebabkan korban yang jumlahnya bukan sedikit. Misalnya : tsunami, gempa bumi, gunung berapi, pesawat jatuh, kapal tenggelam, kebakaran, kenderaan terbalik dan berlanggar, banjir, tanah runtuh, angin puting beliung, dan masih banyak lagi. Sebahagian orang menyatakan kejadian tersebut ada kaitannya penduduk negeri ini. Mereka berpendapat bahawa penduduk negeri ini sudah terlalu banyak berdosa sehingga diberi siksa oleh Allah.Yang terbaru Di negara kita ialah runtuhan gunung di Bukit Antarabangsa yang meranapkan hampir 15 buah banglo. Benarkah demikian?

Jawapan

:
DEFINISI (Bala)
Secara literal, al-bala’ atau bala bermakna al-ikhtibar (ujian). Istilah bala’ sendiri digunakan untuk menggambarkan ujian yang baik mahupun yang buruk (Imam ar-Razi, Mukhtâr al-Shihâh, hal. 65).

Dalam kitab al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an dinyatakan, bahwa bala’ itu memiliki tiga bentuk; ni’mat (kenikmatan), ikhtibaar (cubaan atau ujian), dan makruuh (sesuatu yang dibenci) (Syihâb al-Dîn Ahmad, al-Tibyân fi Tafsîr Gharîb al-Qur’an, juz 1, hal. 85).

Di dalam al-Quran, kata bala’ disebutkan di enam tempat, dengan makna yang berbeza-beza;

Qs. al-Baqarah [2]: 49;

Qs. al-A’râf [7]: 141;

Qs. al-Anfâl [8]: 17;

Qs. Ibrahim [14]: 6;

Qs. ash-Shafât [37]: 106;

Qs. ad-Dukhân [44]: 33

Ada yang bermakna cubaan dan ujian yang dibenci manusia. Ada pula yang bererti kemenangan atau kenikmatan (bala’ hasanah).

Bala’ dalam konteks ujian yang buruk, misalnya terdapat di dalam firman Allah SWT berikut ini:

“Dan pada yang demikian itu terdapat cubaan-cubaan yang besar dari Tuhanmu.”

(Qs. al-Baqarah [2]: 49)

Ayat ini bercerita tentang Bani Israil diselamatkan dari penyembelihan dan kekejaman Fir’aun. Menurut Ali ash-Shabuni, bala’ dalam ayat ini adalah al-mihnah wa al-ikhtibâr (ujian dan cubaan) yang ditimpakan oleh Fir’aun kepada Bani Israil; iaitu penyembelihan anak laki-laki (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 1, hal. 57).

Adapun bala’ dalam konteks ujian yang baik terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini:
“Maka sebenarnya, bukan kamu yang membunuh mereka. Akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allahlah yang melempar. Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik (bala’an hasanan). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Anfâl [8]: 17).

Menurut Imam al-Baidhawi dalam Tafsir al-Baidhawi, kata bala’ pada ayat di atas adalah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang beriman, yang berujud, pertolongan Allah (al-nashr), al-ghanimah (harta rampasan perang), dan al-musyahadah (mati syahid) (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 3, hal. 97).

Musibah.

Musibah adalah al-baliyyah (ujian) dan semua perkara yang dibenci oleh manusia. Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisân al-‘Arab menyatakan, bahwa musibah adalah al-dahr (kemalangan, musibah, dan bencana) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 535).

Menurut Imam al-Baidhawi, musibah adalah semua kemalangan yang dibenci dan menimpa umat manusia. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Setiap perkara yang menyakiti manusia adalah musibah.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 1, hal. 431).

Kata musibah disebutkan di sepuluh ayat, dan semuanya bermakna kemalangan, musibah, dan bencana yang dibenci manusia. Namun demikian, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menyakini, bahwa semua musibah itu datang dari Allah SWT, dan atas izinNya.

Allah SWT berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepadanya hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Qs. al-Taghâbun [64]: 11)

‘Azab.

Secara literal, ‘azab adalah al-nakâl wa al-‘uqûbah (peringatan bagi yang lain, dan siksaan [hukuman]) (Imam Ibnu Mandzur, Lisân al-‘Arab, juz 1, hal. 585). Al-nakâl adalah peringatan yang berupa siksaan atau hukuman kepada yang lain. Kata al-‘adzab biasanya digunakan pada konteks hukuman atau siksaan kelak di hari akhir.

Allah SWT berfirman:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 7).
“Sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 10), dan lain sebagainya. Namun demikian, kata ‘azab juga digunakan dalam konteks hukuman di kehidupan dunia.

Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeri pun yang derhaka penduduknya, melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat, atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab Lauh al-Mahfuudz.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58).

Menurut Ali ash-Shabuni, jika penduduk suatu kota ingkar atau bermaksiyat kepada perintah Allah SWT, mendustakan Rasul-rasulNya, nescaya Allah akan menghancurkan mereka, baik dengan kehancuran secara total (pemusnahan), mahupun ditimpa dengan hukuman yang amat keras (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).

Di ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
“Sekiranya mereka tidak bercampur baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan adzab yang pedih.” (Qs. al-Fath [48]: 25).
Tatkala menafsirkan ayat ini, Ali ash-Shabuni mengatakan, “Seandainya orang-orang kafir itu dipisahkan satu dengan yang lain, kemudian dipisahkan antara yang mukmin dengan yang kafir, tentulah Allah akan mengazab orang-orang kafir dengan azab yang sangat keras, berupa pembunuhan, penawanan, mahupun pengusiran dari negeri mereka-negeri mereka.” (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 3, hal. 48).

Keterangan ini diperkuat dengan firman Allah SWT yang lain, iaitu:
“Dan jikalau tidaklah kerena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.” (Qs. al-Hasyr [59]: 3).

Ayat ini bercerita tentang pengusiran Bani Nadzir, sekaligus mengisahkan, bahawa jikalau Allah SWT tidak menetapkan hukuman pengusiran terhadap Bani Nadzir, nescaya mereka akan diazab dengan pembunuhan (al-qatl). Hukuman bagi mereka cukup dengan pengusiran, bukan pembunuhan seperti halnya hukuman bagi Yahudi Bani Quraidzah.
Ayat di atas juga menunjukkan, bahwa ‘azab tidak hanya berasal dari Allah SWT saja, akan tetapi juga bersumber dari manusia sendiri, iaitu berupa hukuman di kehidupan dunia.

Penyebab Datangnya ‘Azab Daripada Allah

Pada dasarnya, penyebab datangnya ‘azab Allah SWT adalah kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan.

Allah SWT telah menyatakan hal ini di beberapa ayat; diantaranya adalah firman Allah SWT:
“Dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (Qs. al-Qashash [28]: 59).

“maka tidak dibinasakan kecuali kaum yang fasik.” (Qs. al-Ahqâf [46]: 35).

“Kami telah membinasakan mereka, kerana sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berbuat dosa (al-mujrim).” (Qs. ad-Dukhân [44]: 37).

Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa ‘azab Allah hanya akan dijatuhkan kepada penduduk negeri yang melakukan kezaliman, kemaksiatan, dan kefasikan. Dengan kata lain, ‘azab Allah hanya akan dijatuhkan, tatkala peringatan-peringatan Allah SWT melalui lisan RasulNya telah diabaikan dan didustakan.

Akan tetapi, ada beberapa riwayat yang menunjukkan, bahwa ‘azab Allah boleh saja mengenai orang-orang mukmin tatkala mereka enggan mencegah kemungkaran padahal mereka mampu melakukannya.

Dari Adi bin Umairah dikatakan, bahawasanya ia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengazab orang-orang secara keseluruhan akibat perbuatan mungkar yang dilakukan oleh seseorang, kecuali mereka melihat kemungkaran itu di depannya, dan mereka sanggup menolaknya, akan tetapi mereka tidak menolaknya. Apabila mereka melakukannya, nescaya Allah akan mengazab orang yang melakukan kemungkaran tadi dan semua orang secara menyeluruh.” [HR. Imam Ahmad].

Sedangkan ‘azab manusia, baik berupa pembunuhan, keganasan, pengusiran, dan lain sebagainya semata-mata tergantung dari kehendak manusia itu sendiri. Contohnya, Fir’aun pernah mengumumkan hukuman bunuh bagi bayi yang lahir laki-laki. Rasulullah Saw menghukum Bani Quraidzah dengan pembunuhan atas pengkhianatan mereka. Nabi Saw juga pernah mengusir Bani Nadzir dari kota Madinah, sebagai hukuman atas dosa yang mereka lakukan.

Jenis-Jenis ‘Azab Allah

‘Azab Allah SWT ada dua jenis. Pertama, ‘azab yang ditimpakan kepada penduduk suatu negeri yang berakibat musnahnya penduduk kota tersebut (isti’shâl). Kedua, ‘azab yang sangat keras, akan tetapi tidak sampai memusnahkan penduduk negeri tersebut.

Azab jenis pertama dijatuhkan Allah SWT kepada umat terdahulu, seperti kaumnya Nabi Nuh, kaum Tsamud, dan lain sebagainya. Kaum-kaum tersebut telah dimusnahkan Allah SWT akibat pengingkaran mereka terhadap tanda-tanda kebesaran Allah SWT. Sebab, jika tanda-tanda kebesaran Allah SWT telah ditunjukkan kepada suatu kaum, namun kaum tersebut tetap saja ingkar dan mendustakan Allah dan RasulNya, maka Allah SWT pasti akan memusnahkan kaum tersebut.

Allah SWT berfirman:
“Tak ada suatu negeripun (yang derhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari Kiamat atau kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. Yang demikian itu tertulis di dalam kitab (Luh Mahfudz). Dan sekali-kali tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan tanda-tanda kekuasaan Kami) , melainkan kerana tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 58-59).

Allah SWT telah menetapkan, bahawa orang-orang yang mendustakan tanda-tanda kekuasaanNya akan dimusnahkan Allah SWT. Tanda kebesaran Allah ini pernah diberikan kepada Rasul-rasul terdahulu; misalnya, unta betinanya Nabi Shaleh bagi kaum Tsamud. Sayangnya, kaum Tsamud mengingkari tanda kebesaran Allah ini. Akhirnya kaum Tsamud dimusnahkan dari muka bumi. Majoriti ahli tafsir menyatakan, bahwa ayat ini berhubungan dengan permintaan orang-orang Quraisy kepada Nabi Saw agar beliau Saw menunjukkan tanda-tanda kekuasaan Allah sebagai bukti kebenaran kenabian dan risalahnya. Akan tetapi, Allah SWT memberitahu Nabi Saw, bahawa jika Allah mengabulkan permintaan mereka, namun mereka tetap saja ingkar dan mendustakan tanda-tanda kebesaran Allah tersebut, nescaya mereka akan dimusnahkan, sebagaimana kaum-kaum terdahulu (Ali ash-Shabuni, Shafwât at-Tafâsîr, juz 2, hal. 165).

Oleh karena itu, Allah SWT tidak mengiyakan permintaan kaum Quraisy tersebut, kerana Ia tidak ingin memusnahkan kaum Quraisy.

Dari sini kita boleh menyimpulkan, bahwa ‘azab isti’shâl (pemusnahan) tidak akan menimpa umat Muhammad Saw. Tetapi, umat Muhammad Saw tidak luput dari ‘azab yang keras, jika mereka melakukan kezaliman, kefasikan, dan kekufuran.

‘Azab Akibat Pembesar-Pembesar Fasiq Dan zalim

Jika pembesar-pembesar suatu negeri atau kota melakukan kemaksiatan kederhakaan, dan kezaliman, nescaya Allah akan mengirimkan ‘azab kepada penduduk negeri tersebut.

Al-Qur’an telah menyatakan hal ini dengan sangat jelas:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah SWT), tetapi mereka melakukan kederhakaan dalam negeri itu. Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Qs. al-Isrâ’ [17]: 16).

Ibnu ‘Abbas tatkala menafsirkan ayat ini menyatakan:
“Maksud ayat ini adalah, jika Kami (Allah) telah memberikan kekuasaan kepada pembesar-pembesar di sebuah kota, kemudian mereka berbuat maksiat di dalamnya, maka Allah SWT akan menghancurkan penduduk di negeri tersebut dengan ‘azab.” (Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, juz 2, hal. 371).


Di ayat lain, Allah SWT telah menyatakan kerosakan di darat dan laut akibat perbuatan manusia.

Allah SWT berfirman:
“Telah terlihat kerosakan di darat dan di laut disebabkan kerana perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).

Imam Baidhawi berkata, “Yang dimaksud dengan kerosakan (pada ayat tersebut) adalah al-jadb, kebakaran yang merajalela, ketenggelaman, hilangnya keberkatan, dan banyaknya kelaparan, akibat kemaksiatan dan ulah perbuatan manusia.” (Imam al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz 2, hal. 106).

Menurut Imam Ibnu Katsir, yang dimaksud kerosakan adalah berkurangnya hasil-hasil pertanian dan buah-buahan kerana kemaksiatan manusia. Sebab, baiknya bumi dan langit tergantung dengan ketaatan (Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, hal. 57).

Kezaliman penguasa, keengganan rakyat melakukan koreksi dan muhasabah terhadap penguasa merupakan pembuka datangnya ‘azab dari Allah SWT. Sebaliknya, ketaatan kepada Allah SWT merupakan kunci bagi kebaikan bumi dan seisinya.

Penutup

Seorang mukmin harus menyakini, bahwa seluruh musibah yang menimpa dirinya berasal dari Allah SWT. Sebab, tidak ada satupun musibah yang terjadi di muka bumi ini, kecuali atas Kehendak dan Izin Allah SWT. Akan tetapi, seorang mukmin juga wajib mengimani adanya musibah-musibah yang disebabkan karena kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia.

Sesungguhnya, musibah maupun ‘azab yang ditimpakan Allah SWT kepada manusia ditujukan agar mereka kembali mentauhidkan Allah SWT, dan menjalankan seluruh syariatNya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sayangnya, banyak orang memandang musibah sebagai peristiwa dan fenomena alam biasa, bukan sebagai peringatan dan pelajaran dari Allah SWT. Akibatnya, mereka tetap tidak mau bertaubat dan memperbaiki diri. Mereka tetap melakukan kemaksiatan dan mengolok-olokkan syariat Allah SWT. Mereka lebih percaya kepada kekuatan ilmu dan teknologi buatan manusia untuk menghalang bencana dan musibah, dari pada Kekuatan dan Kekuasaan Allah SWT. Adanya musibah tidak menjadikan mereka rendah diri dan bersandar kepada Allah, namun menyeret mereka untuk semakin ingkar kepada Allah SWT.

Benar, salah satu bentuk perlindungan diri adalah berusaha semaksima mungkin untuk menghalang bencana dan musibah dengan berbagai sistem dan teknologi; misalnya; merancang master planning yang komprehensif, membangun sistem perumahan yang baik, mendirikan tembok dan lain sebagainya. Namun, perlindungan harusnya tidak hanya berhenti pada aspek-aspek fizikal seperti ini saja, akan tetapi harus mencakupi pula perlindungan spritual yang mampu membawa kepada ketaqwaan yang hakiki; iaitu mentauhidkan Allah SWT dan menjalankan seluruh syariatNya. Sebab, penyebab utama datangnya ‘azab adalah kemaksiatan, bukan semata-mata kerana lemah ataupun kurangnya sarana dan prasarana fizikal.

Wallahu a'lam

3 comments:

Anonymous said...

Melalui tulisan Saudara seolah berpendapat peristiwa tanah runtuh di Bukit Antarabangsa merupakan bala daripada Allah?

Sesuaikah jawapan sebegini untuk diberikan kepada mereka-mereka yang hendak mendekati Islam ataupun dari golongan bukan Islam?

Tidakkah mereka beranggapan bahawa Islam itu menakutkan?

tarasakila said...

Terima Kasih AtAS kOMEN...sAYA nK Tanya Saudara Plak...apa Pendapat sAUDARA PULAK?BENCANA ALAM LANGSUNG TIADA KAITAN DENGAN TUHAN?

Anonymous said...

ikut penjelasan di atas wajar tragedi tanah runtuh disebut bala jika diertikan sbg ujian kerana disitu ada muslim dan dan non-muslim. sbg tunjuk keimanan kita hendaklah meyakini kejadian itu tidak terjadi melainkan dengan izin Allah dan apa2 yg buruk itu datang dari kita hambaNya juga walhasil Allah tidak sekali2 menzalimi hambanya.

tanggapan islam menakutkan sewajarnya manusia itu lebih takut pada AZAB Allah diakhirat berupa neraka dan siksaannya , selebihnya manusia manusia boleh berharap Rahmat dan janji Syurga oleh Allah pada mereka yg beriman dan beramal Solleh..

salam..